Luar Biasa! RI Mau Beli Jet Tempur Rp 315 T, Duit dari Mana?

Jakarta – Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meneken pembelian pesawat tempur Rafale dari Prancis. Kemudian, Amerika Serikat (AS) berencana mengundang Indonesia untuk membeli jet tempur F-15WX.
Kemarin, Indonesia dan Prancis secara resmi menyepakati aktivasi kontrak pembelian enam dari total 42 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation. Kesepakatan itu merupakan satu dari empat kesepakatan yang diteken dalam pertemuan antara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly.
“Bidang alutsista merencanakan pembelian alutsista signifikan untuk multi role combat aircraft. Kita akan mengakusisi 42 pesawat Rafale. Mulai hari ini kontrak pertama untuk enam pesawat yang akan disusul dalam waktu dekat untuk 36 pesawat dengan dukungan latihan persenjataan dan simulator yang dibutuhkan,” kata Prabowo.
Nilai kontrak pembelian 42 unit pesawat Rafale itu disebut-sebut US$ 8,1 miliar. Dengan asumsi US$ 1 sama dengan Rp 14.344 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 10 Februari 2022, maka US$ 8,1 miliar setara dengan Rp 116,19 triliun.
Angka itu bukan jumlah yang sedikit. Lebih dari cukup untuk membiayai anggaran Polri dalam setahun yang pada 2022 bernilai Rp 111,02 triliun.
Anggaran Pertahanan Indonesia (Rp Miliar)
Tidak berhenti sampai di situ, Indonesia juga sekarang bakal bisa membeli jet tempur dari AS. Kementerian Luar Negeri AS melalui keterangan tertulis mengizinkan penjualan jet F-15EX kepada Indonesia. Potensi penjualannya mencapai 36 unit.
Total penjualan itu ditaksir bernilai US$ 9,5 miliar (Rp 136,27 triliun). Ini baru pesawat thok, tetek bengeknya bayar lagi US$ 4,4 miliar (Rp 63,11 triliun). So, totalnya adalah US$ 13,9 miliar (Rp 199,38 triliun).
Nilai hampir Rp 200 triliun itu bukan kaleng-kaleng. Lebih tinggi dibandingkan anggaran pendidikan 2022 yang bernilai Rp 169,23 triliun.
Jadi kalau ditotal pembelian pesawat dari Prancis dan AS itu bernilai US$ 22 miliar (Rp 315,57 triliun). Luar biasa…
Tingginya kebutuhan impor jet tempur itu perlu disikapi dengan saksama. Apalagi pemerintah akan mulai melakukan normalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang mulai tahun depan harus kembali ke defisit di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kalau mau dipaksakan, pembelian jet tempur ini harus mengorbankan pos anggaran lain. Ini bukan hal yang mustahil, dengan syarat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) benar-benar bisa terkendali tahun ini.
Sekarang Indonesia (dan banyak negara lain) sedang menghadapi gelombang serangan virus corona varian Omicron. Varian ini lebih cepat menyebar ketimbang varian Delta sehingga membuat angka kasus positif harian melonjak tajam.
Kasus Positif Harian Covid-19 di Indonesia (orang)
Namun, ada perkiraan gelombang ini tidak akan bertahan lama. Kemungkinan gelombang serangan Omicron mulai reda pada akhir Februari atau awal Maret.
Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas, menyebut dengan asumsi maksimal populasi Indonesia yang bisa terjangkit Covid-19 (carrying capacity) adalah 2-2,5% dari populasi dan laju penularan Omicron 1,2-1,5 kali Delta, maka akan butuh waktu 56-60 hari untuk satu siklus atau fase gelombang selesai. Artinya jika kasus naik signifikan mulai 2 Januari 2022, maka gelombang serangan Omicron akan berakhir pada 3 Maret 2022.
“Kasus kumulatif bisa mencapai 5,4-6,7 juta. Kasus harian bisa menyentuh 42.785-72.133 orang dalam sehari pada pekan kedua dan ketiga Februari,” sebut Tirta.
Sementara menurut model yang dibangun Bahana Sekuritas, puncak kasus positif akibat varian Omicron akan terjadi pada pekan ketiga Februari. Kemungkinan bisa mencapai 81.088-86.452 orang dalam sehari.
“Seiring dengan terbentuknya kekebalan kolektif (herd immunity), kasus harian nasional akan mulai turun secara drastis setelah 21-23 Februari. Di Jakarta, kasus harian akan mencapai puncak pada pekan depan,” tulis riset Bahana.
Kalau ini yang terjadi (semoga), maka sebagian dari anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bisa saja dialihkan untuk keperluan pembelian pesawat. Tahun ini, total anggaran PEN adalah Rp 455,62 triliun.
Atau kalau tidak mau merealokasi anggaran, pemerintah kudu mendongkrak penerimaan negara agar bisa membeli pesawat tempur nan canggih itu. Kebetulan mulai bulan depan pemerintah bakal menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Menurut kajian Bahana Sekuritas, kenaikan tarif PPN menjadi 11-12% akan menaikkan setoran ke kas negara sebesar Rp 60-80 triliun.
Kalau realokasi anggaran dan kenaikan penerimaan tidak bisa menutup pembelian jet tempur dari AS dan Prancis itu, maka jalan lainnya adalah menambah utang. Sebagai catatan saja, saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB sudah di atas 40%.
Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB di Indonesia (%)
Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, angka 40% memang tergolong rendah. Rasio utang pemerintah Singapura terhadap PDB pada 2020 mencapai 150,23%, tertinggi sepanjang sejarah dan di ASEAN-5. Sementara Malaysia 62,09%, Filipina 60,5%, dan Thailand 45,12%.
Namun bukan berarti utang pemerintah Indonesa tanpa risiko. Lembaga pemeringkat Moody’s Investors Service menilai peringkat utang (rating) Indonesia di Baa2 mencerminkan risiko tersendiri.
Moody’s mengingatkan bahwa rating Baa2 menunjukkan kekuatan fiskal Indonesia yang relatif lemah. Ketersediaan pembiayaan (debt affordability) juga sangat lemah, meski Indonesia mampu menjaga rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetap rendah di antara negara-negara yang sekelompok.
“Kami memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap PDB di Indonesia akan naik sampai 2023, memuncak di 42,5%. Meski rasio ini relatif rendah, tetapi debt affordability menjadi risiko bagi pengelolaan fiskal Indonesia,” sebut keterangan tertulis Moody’s.
Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara, tambah keterangan Moody’s, memburuk menjadi 19% pada 2020 karea pendapatan negara yang mengkerut. Pada 2021 sedikit membaik menjadi 17%. Namun dengan lingkungan suku bunga tinggi yang mulai terjadi tahu ini, Moody’s memperkirakan angkanya akan naik lagi menjadi 18%.
“Ini jauh lebih tinggi dibandingkan median negara-negara dengan rating Baa2 yakni sekitar 8%. Apalagi utang dalam mata uang asing masih cukup tinggi, sekitar sepertiga dari total utang pemerintah. Ini membuat kekuatan fiskal bisa tertekan oleh fluktuasi kurs dan perubahan appetite di pasar,” terang Moody’s.
Sumber : cnbcindonesia.com