Keputusan Mendagri Tentang Status Empat Pulau di Aceh: Langkah Mundur dalam Penghormatan terhadap Otonomi Daerah Aceh

 Keputusan Mendagri Tentang Status Empat Pulau di Aceh: Langkah Mundur dalam Penghormatan terhadap Otonomi Daerah Aceh

Oleh : Rachmad Setiawan

Pendahuluan

Sebagai seorang yang lahir dan besar di Aceh, baru-baru ini keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang mengalihkan status empat pulau di Aceh; Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil kedalam wilayah administratif Sumatera Utara tentu membuat saya terkejut dan merasa prihatin. Ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi sebuah keputusan yang meruntuhkan rasa keadilan yang selama ini telah menjadi bagian dari otonomi khusus Aceh. Keputusan ini jelas mencederai hak Aceh sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, hak yang diperoleh setelah perjalanan panjang dan perjuangan yang penuh tantangan.

Aceh, dengan otonomi khususnya, memiliki kewenangan lebih dalam mengelola wilayah dan sumber daya alamnya. Otonomi ini, yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bukan hanya sebagai simbol kebanggaan, tetapi sebagai pengakuan terhadap hak-hak Aceh yang sudah dimiliki. Maka, keputusan Mendagri yang mengalihkan status pulau-pulau tersebut, pada pandangan saya, tidak hanya melanggar hak Aceh, tetapi juga menciptakan celah ketidakpercayaan yang lebih besar antara Aceh dan pemerintah pusat.

Sebagai masyarakat Aceh, kami sudah terbiasa dengan narasi bahwa otonomi khusus memberikan kami hak untuk mengelola wilayah ini dengan cara kami sendiri, termasuk pulau-pulau kecil yang ada di sekitar wilayah kami. Namun, dengan keputusan ini, seolah kami kembali disisihkan dengan keputusan yang tidak melihat hak otonomi Aceh. Saya merenung, apakah keputusan semacam ini benar-benar mempertimbangkan sejarah panjang dan nilai-nilai yang telah tertanam di Aceh? Dengan melihat bagaimana konflik yang pernah terjadi telah merugikan kami masyarakat Aceh.

Apa saja yang diabaikan oleh Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025

Keputusan ini mengabaikan sejumlah Undang-Undang yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumatera Utara. Undang-Undang ini menjadi dasar hukum bagi klaim Aceh atas empat pulau yang dialihkan ke wilayah Sumatera Utara. Keputusan tersebut juga bertentangan dengan ketentuan dalam MoU Helsinki, tepatnya pada poin 1.1.4 yang menyatakan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956, yang secara eksplisit menetapkan batas wilayah Aceh berdasarkan kondisi pada tahun tersebut. Dengan demikian, keputusan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan damai yang telah disepakati bersama, dan berpotensi memicu ketegangan serta merusak kepercayaan antara Aceh dan pemerintah pusat. Menurut saya, keputusan Mendagri yang mengalihkan status pulau-pulau tersebut tidak hanya mengabaikan hukum yang berlaku, tetapi juga menodai prinsip kedaulatan Aceh. Bagaimana mungkin sebuah keputusan yang mengubah status administratif wilayah dapat diambil begitu saja, tanpa pertimbangan yang matang dan tanpa menghormati hak-hak Aceh?

Krisis Kedaulatan Aceh

Seiring berjalannya waktu, saya merasa semakin khawatir dengan potensi eksploitasi terhadap sumber daya alam yang ada di pulau-pulau tersebut. Pulau-pulau tersebut selama ini telah memberikan penghidupan bagi masyarakat sekitar dengan potensi perikanan yang besar, tetapi juga bisa menjadi sumber daya alam yang penting dalam sektor energi dan pariwisata. Dalam kondisi seperti ini, apabila pulau-pulau itu dikelola oleh pihak yang tidak mempedulikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Aceh, bisa jadi Aceh akan kembali menjadi objek eksploitasi seperti Provinsi lain di Indonesia dan juga seperti yang sudah pernah dilakukan oleh Indonesia kepada Aceh yang tidak memberi manfaat langsung kepada masyarakat Aceh.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah adanya narasi dari Gubernur Sumatera Utara mengenai “pengelolaan bersama” pulau-pulau tersebut. Saya bertanya-tanya, untuk apa pengelolaan itu dilakukan jika tidak ada sesuatu yang bisa dikelola? Apakah ini hanya alasan untuk memudahkan akses terhadap sumber daya yang ada, yang seharusnya menjadi hak Aceh? Jusuf Kalla, dalam komentarnya, menyatakan bahwa keputusan ini secara hukum tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumatera Utara. Ia menegaskan bahwa pengalihan status pulau-pulau tersebut merusak prinsip kedaulatan Aceh atas wilayahnya dan memperburuk hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat. Maka dari itu, apa yang diklaim sebagai “pengelolaan bersama” ini justru semakin memperjelas keraguan saya tentang niat di balik keputusan tersebut.

Teori Keadilan Sosial

Saya juga melihat bahwa keputusan ini sangat jauh dari prinsip keadilan sosial. Dalam perspektif teori keadilan sosial yang dikembangkan oleh John Rawls, setiap kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Namun, keputusan Mendagri ini jelas merugikan masyarakat Aceh, baik secara ekonomi maupun sosial. Keputusan ini juga menafikan hak-hak Aceh yang telah dijamin dalam Undang-Undang. Dalam pendekatan perdamaian dan resolusi konflik, penting untuk mengedepankan prinsip keadilan restoratif, yang mengutamakan rekonsiliasi dan pemulihan hubungan.

Keputusan ini, jika tidak disertai dengan dialog dan kajian mendalam, berpotensi membuka luka lama yang telah berusaha sembuh pasca-konflik. Tanpa adanya upaya untuk melibatkan masyarakat Aceh dalam proses pengambilan keputusan, ketegangan yang sudah dijaga akan kembali muncul, dan proses perdamaian yang telah terbangun dengan susah payah bisa terancam terhenti.

Saya melihat bahwa isu yang dihadapi Aceh bukan sekadar tentang masalah administratif atau pembagian wilayah semata. Ini adalah tentang keadilan sosial dan kedaulatan Aceh, dua hal yang bagi saya sangat erat kaitannya. Keadilan sosial di Aceh berarti memberikan hak-hak yang setara bagi masyarakat Aceh untuk mengelola wilayah dan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang memiliki sejarah panjang perjuangan. Keadilan ini bukan hanya soal distribusi kekayaan, tetapi tentang pengakuan terhadap hak-hak dasar yang sudah diperjuangkan, yang terpatri dalam perjuangan rakyat Aceh selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, kedaulatan Aceh adalah tentang penghormatan terhadap hak Aceh untuk mengatur urusan internalnya tanpa campur tangan dari pihak luar yang merusak hak-hak tersebut. Dengan adanya otonomi khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, seharusnya Aceh diberi keleluasaan untuk mengelola wilayah dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedaulatan ini lebih dari sekadar administratif; ia mencakup hak untuk mengelola budaya, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat Aceh secara mandiri.

Pentingnya Dialog dan Keterlibatan Masyarakat Aceh

Namun, ketika keputusan yang mengalihkan status empat pulau yang seharusnya menjadi bagian dari wilayah Aceh itu dikeluarkan, saya merasa bahwa prinsip-prinsip keadilan sosial dan kedaulatan Aceh sedang diganggu. Keputusan semacam ini seakan-akan mengabaikan hak Aceh untuk mengatur dan mengelola wilayahnya, yang telah lama menjadi bagian dari perjuangan masyarakat Aceh. Ini bukan hanya soal perubahan administratif, tetapi tentang penafian terhadap hak-hak yang seharusnya dijamin oleh negara. Keputusan ini, jika tidak disertai dengan dialog terbuka dan keterlibatan masyarakat Aceh, berpotensi mengarah pada ketegangan yang tidak perlu dan merusak kepercayaan yang telah terbangun antara Aceh dan pemerintah pusat.

Kesimpulan

Bagi saya, keadilan sosial di Aceh bukan hanya soal akses terhadap sumber daya alam atau pembangunan ekonomi, tetapi lebih jauh lagi, tentang pengakuan terhadap hak Aceh untuk menentukan masa depannya sendiri. Begitu juga dengan kedaulatan Aceh, yang seharusnya tidak hanya berbicara tentang kontrol administratif terhadap wilayah, tetapi tentang hak untuk mengelola segala aspek kehidupan masyarakat Aceh. Keputusan yang mengabaikan hak-hak tersebut akan merusak fondasi perdamaian yang telah diperjuangkan dan membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Sebagai penulis, saya merasa bahwa ini adalah momen yang sangat penting untuk menegaskan bahwa keadilan sosial dan kedaulatan Aceh tidak bisa diabaikan, dan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat harus selalu didasarkan pada penghormatan terhadap kedua prinsip tersebut.

Keputusan ini harus segera ditinjau kembali. Pemerintah pusat harus menyadari bahwa otonomi khusus yang dimiliki Aceh bukanlah sekadar simbol atau hak yang bisa digeser begitu saja. Ini adalah hak yang telah lama diperjuangkan dan harus dihormati namun pemerintah pusat sampai saat ini belum memberikan sepenuhnya hak otonomi kepada Aceh. Dalam banyak hal, ini bukan hanya soal pembagian wilayah administratif, tetapi tentang menghormati hak-hak yang telah diberikan, dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan pihak mana pun, terutama masyarakat Aceh yang telah lama berjuang untuk mendapatkan otonomi ini dan telah merenggut 15.000-30.000 nyawa selama konflik bersenjata di Aceh.

Sebagai penulis dan sebagai bagian dari masyarakat Aceh, saya berharap agar keputusan ini segera dikaji ulang, dan pemerintah pusat membuka dialog yang lebih konstruktif. Saya percaya bahwa keputusan yang bijaksana akan menjaga kedamaian dan keharmonisan yang selama ini telah terjalin antara Aceh dan pemerintah pusat. Jangan sampai keputusan yang salah merusak segalanya dan membuka luka yang tak akan pernah sembuh.

*Penulis Merupakan Orang Asli Aceh yang sedang menempuh Pendidikan pada Program Studi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Redaksi

http://hababerita.com

Lihat Dunia Lebih Dekat

Related post