Dinamika Politik Labuhanhaji

 Dinamika Politik Labuhanhaji

Oleh : MHD MISRI, SH

Putra Kelahiran Labuhanhaji

Sebagai seorang pewara-wiri yang senang mengamati berbagai keadaan. Tentu kampung halaman tidak luput dari perhatian. Apalagi issue Politik, sebagai masyarakat demokrasi topik politik sudah barang tentu mendapat atensi tertinggi di semua tingkatan dan kalangan masyarakat.

“Insiden” Reformasi dan pemberlakuan Otonomi Daerah tidak hanya merubah sistem politik dan ketatanegaraan, namun juga kultur masyarakat kita. Yang semula “terbatas” kemudian menjadi  “bebas” bahkan sulit untuk dikendalikan. kegandrungan masyarakat terhadap politik begitu besar akibat sistem yang begitu bebas dan terbuka bagi siapa saja, sehingga sulit untuk membuat batasan. Seperti masa sebelum reformasi bahwa politik itu hanya terbatas di kalangan elit dan partai politik semata. Namun kini semua segmen dan kelompok masyarakat di seret secara bersama-sama ke muara politik yang bercampur aduk. Sehingga elit dan partai politik tidak lagi menjadi satu-satunya penentu dalam pemilihan pemimpin, namun di kembalikan hak keterwakilan itu kepada rakyat secara langsung.

Kedua “insiden” besar itu menandai keterlibatan masyarakat secara merdeka dan terbuka dalam berpartisipasi dan ‘merdeka dalam menyatakan pendapat (freedom of speech). Serta menghadiahkan “supreme of constitutional rights” hak konstitusionalitas tertinggi bagi setiap warga negara yaitu; untuk dapat memilih dan di pilih secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luberjurdil).

Apa yang terjadi hari ini adalah ekses dari Reformasi dan penerapan Otonomi Daerah yang kebablasan sampai ke daerah tingkat II. Sehingga banyak lahir pelaku-pelaku politik yang tidak berpengalaman dan berkompetensi. Sehingga politik tidak lagi dipandang sebagai suatu bidang yang khusus sebagai tempat pengabdian dan penuangan ide-ide besar, melainkan hanya sebatas event atau sayembara bagi siapa saja yang ingin ikut berlomba di dalamnya.

Akibat sistem terbuka seperti itu dan melemahnya peran partai politik. Pada akhirnya terbentuklah budaya politik baru yang begitu liberal dan transaksional. Dengan anggapan bahwa  ‘modal’ adalah satu-satunya penentu kesuksesan dalam event pemilu/pilkada. Tidak salah saya menyebut sistem politik kita hari ini adalah sistem politik kapitalistik. Bahwa pemilik modal adalah mereka yang selalu di elu-elukan menjadi penentu dan peserta dalam kontestasi pemilu/pilkada.

Buruknya keadaan hari ini merasuki sampai ke pelosok daerah tak terkecuali pemilihan Bupati/Walikota bahkan pemilihan Kepala Desa pun demikian adanya. Pertanyaannya; sampai kapankah kita mau bertahan dan nyaman dengan pola politik transaksional seperti ini? Isi saku di bokong lebih berarti daripada isi yang ada di kepala.?!

Melihat keadaan hari ini di kampung saya, tidak terlepas dari pengaruh budaya politik semacam itu. Malah sedikit lebih buruk lagi dengan politik yang tak berpola dan berkonsep yang digerakkan oleh beberapa pelaku dan pemilik modal yang ada disana.

Sebagai putra Labuhanhaji tentulah memiliki kebanggaan sendiri memiliki seseorang pemegang tampuk kekuasaan berasal dari tanah kelahiran yang sama. Akan tetapi politik itu sangat universal tidak cukup dibangun atas kesadaran yang sempit  seperti kesamaan tempat lahir, alumni sekolah, dan sanak-saudara. Apalagi menggunakan simbol-simbol kesamaan “mazhab” dan persatuan. Apabila paradigma berfikir seperti itu dibangun menjadi “grand issue” dalam sebuah gerakan politik pragmatis maka itu adalah suatu tanda kegagalan dalam berpikir pola dan konsep politik pemenangan.

Ia sudah kalah di awal pada penentuan paradigm dalam mencitrakan diri. Karena kekuatan hagemoninya sangatlah terbatas. Tidaklah mungkin berembuk dengan peternak ikan lele untuk menangkap ikan paus yang besar di samudera yang luas. Atau berencana menangkar ikan paus di kolam lele. Itu adalah perkara yang mustahil binti aneh.

Jadi tidak tepat mempertahankan embel-embel Labuhanhaji Raya Bersatu sebagai issue utama untuk menajdi Bupati Aceh Selatan. Itulah kesalahan para kandidat-kandidat potensial dari Labuhanhaji selama ini. Selalu menggunakan issue persatuan untuk meraup suara dan hati masyarakat yang jelas-jelas selama ini gagal total dijalankan dari periode ke periode. Sudah seharusnya mereka merancang suatu gerakan politik yang lebih luas dan universal, sehingga memepermudah kerja-kerja politiknya. LHR1 adalah issue basi yang telah di goreng berulangkali. Kenapa konsep itu dipertahankan? Apakah aktor-aktor di belakang itu adalah orang-orang yang sama? Ataukah kekurangan asupan ide dan gagasan baru yang lebih fresh sehingga dapat dengan mudah “dijual” kesemua kalangan dan kelompok masyarakat.

Perlu kita belajar ke kabupaten lain bagaimna aktor-aktor politik mereka memainkan peranannya. Minimal melihat pola politik yang dimainkan oleh Amiruddin di Meulaboh dengan program pertanian, ternak, investasi, tambang, dan ekspornya. Atau Muklis Takabeya di Bireun dengan program sosialnya terhadap masyarakat miskin dan yang membutuhkan uluran tangan, ia selalu hadir disana. Sehingga budaya politik kita jadi lebih berwarna dengan beragam program yang bermanfaat dan bagi masyarakat dan berdampak pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya sebatas mengkampanyekan issue persatuan sebagai calon bupati yang tidak lebih cuma memiliki modal uang semata.

Mudah-mudahan kedepan dari Labuhanhaji akan lahir orang-orang yang pola pikirnya terbuka dan universal tidak hanya bicara hal-hal yang berbau primordialistik dan persatuan sempit semacam itu. Yang kita harapapkan adalah orang yang mampu menjadi representasi dari semua kalangan masyarakat baik kelas atas, menengah, dan bahkan proletariat dengan berbagaimacam progam pembangunannya.

Saran saya kepada pelaku politik di Labuhanhaji hari ini yang sedang memainkan peranannya, temukanlah suatu “main issue” baru yang lebih universal dan dapat diterima oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat baik dari Labuhanhaji ataupun diluar daripada itu. Laksanakan program-program ekonomi, sosial, politik, yang dapat menunjuang kesejahteraan bagi masyarakat. Sehingga ketokohannya pun menjadi representasi dan kebanggaan dari semua kalangan masyarakat Aceh Selatan dan Aceh pada umumnya.

Sejatinya seorang tokoh itu adalah milik masyarakat secara bersama-sama, Bukan cuma satu kelompok saja. Dan saya secara pribadi pun merasa bangga apabila ada orang Labuhanhaji yang orang lain menganggap dirinya adalah bagian dari diri mereka sendiri.

Dengan begitu baru kita dapat membangun daerah dengan perspektif yang lebih luas, program pembangunan yang jelas bermanfaat dan terukur. Keluar dari kungkungan politik perebutan kekuasaan antar kecamatan di Aceh Selatan yang pada akhirnya menjadi bahan olok-olok orang lain terhadap kita dikarenakan yang kita miliki cuma nafsu berkuasa tapi tidak mampu dalam berpikir maju jauh kedepan. ***

Redaksi

http://hababerita.com

Lihat Dunia Lebih Dekat

Related post