Demo Menolak Politik Dinasti di Aceh Berakhir Ricuh

 Demo Menolak Politik Dinasti di Aceh Berakhir Ricuh

Oleh : Sajira

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Ribuan mahasiswa berkumpul di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), membawa aspirasi dan harapan untuk masa depan demokrasi yang lebih baik. Mereka datang dari berbagai kampus, seperti Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Universitas Abulyatama, Universitas Serambi Mekkah, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Bina Bangsa Getsempena. Aksi mereka adalah bentuk penolakan terhadap perubahan Undang-Undang Pilkada, yang mereka khawatirkan akan memperkuat politik dinasti di negeri ini.
Di tengah panasnya siang hari, orasi mahasiswa terdengar lantang. Para mahasiswa menuntut keadilan. Mereka tak hanya bicara soal perubahan aturan, tapi tentang masa depan yang mereka impikan. Masa depan di mana siapa pun bisa menjadi pemimpin, bukan hanya mereka yang berasal dari lingkaran keluarga elite politik. Mereka ingin pemilihan kepala daerah yang adil, demokratis, dan terbuka untuk semua kalangan.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait perubahan syarat pencalonan kepala daerah, khususnya usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur, serta memberikan kesempatan bagi partai politik tanpa kursi di DPRD untuk mengajukan calon. Putusan MK ini menimbulkan perbedaan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa usia calon kepala daerah harus dihitung saat pelantikan, bukan saat penetapan pasangan calon, seperti yang diatur oleh MK. Dalam rapat yang dipimpin oleh Achmad Baidowi, anggota DPR menolak untuk mengakomodasi putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024, dan sebagian partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendorong agar DPR mengikuti putusan MA, yang dianggap lebih detail dan relevan dalam menentukan usia calon kepala daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, yang memberikan kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak memungkinkan upaya hukum lain. Namun, dalam situasi yang berkembang, aksi demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi tegang saat aparat keamanan mulai menahan beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai provokator. Penangkapan ini memicu kemarahan demonstran lain, yang mengakibatkan bentrokan dengan aparat. Meski menghadapi kekerasan, tameng, dan gas air mata, para mahasiswa tetap bertahan di bawah terik matahari, terus menyuarakan tuntutan mereka dengan penuh semangat dan tekad yang tak gentar.

Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli, mengungkapkan bahwa aparat sebenarnya sudah mencoba pendekatan persuasif. Namun, ketika dialog tak lagi membuahkan hasil, polisi terpaksa mengambil tindakan. Gas air mata ditembakkan untuk membubarkan massa yang semakin berusaha masuk ke dalam gedung DPRA.
Di tengah kericuhan, mahasiswa tetap teguh dengan tuntutan mereka. Mereka mendesak agar DPR Aceh dengan tegas menolak revisi UU Pilkada yang dinilai bisa merusak demokrasi. Mereka ingin memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih adalah orang yang berkompeten, bukan sekadar anggota keluarga elite yang mewarisi kekuasaan. Ini bukan hanya soal undang-undang, tapi soal masa depan bangsa yang lebih adil dan transparan.
Pada pukul 21.30 WIB, polisi akhirnya menggunakan mobil water canon untuk membubarkan massa yang tersisa. Aksi ini tidak hanya mencerminkan semangat mahasiswa, tetapi juga kekhawatiran mendalam terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Mereka menolak politik dinasti karena mereka percaya bahwa kepemimpinan harus diperoleh berdasarkan kemampuan, bukan warisan.

Di tengah kesibukan kuliah dan aktivitas kampus, mereka memilih untuk turun ke jalan, melawan apa yang mereka anggap sebagai ancaman bagi demokrasi. Bagi mereka, ini bukan sekadar protes biasa. Ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan, terhadap sistem yang dianggap lebih menguntungkan segelintir orang daripada mayoritas rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat seharusnya dihormati oleh semua pihak, termasuk DPR, sebagai wujud komitmen terhadap supremasi hukum dan demokrasi. Membuat keputusan baru yang bertentangan dengan putusan MK, seperti yang diduga untuk memajukan Kaesang sebagai calon gubernur DKI Jakarta, menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan yang merusak prinsip keadilan. Alih-alih merespon aspirasi masyarakat secara transparan, tindakan semacam ini hanya memperkuat politik dinasti dan mencederai proses demokrasi yang seharusnya terbuka untuk semua kalangan, tanpa terkecuali. Pemerintah dan DPR perlu memastikan bahwa regulasi yang dibuat bukan sekadar memenuhi kepentingan segelintir elite politik, melainkan benar-benar mendukung demokrasi yang sehat dan berkeadilan. ***

Redaksi

http://hababerita.com

Lihat Dunia Lebih Dekat

Related post