Bolehkah Anak Perempuan Memandikan Jenazah Ayahnya?

 Bolehkah Anak Perempuan Memandikan Jenazah Ayahnya?

Ilustrasi anak perempuan memandikan jenazah ayahnya. Foto: Thinkstock

Jakarta – Memandikan jenazah termasuk kewajiban muslim atas sesamanya sebagaimana telah diatur dalam syariat. Bolehkan anak perempuan memandikan jenazah ayahnya?

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Kitab Ahkam al-Janaiz menjelaskan, jika jenazahnya laki-laki maka yang memandikannya adalah kaum laki-laki dan jika perempuan maka yang memandikannya adalah kaum perempuan.

Dijelaskan pula bahwa hendaknya yang memandikan jenazah adalah orang yang lebih mengetahui sunnah-sunnah memandikan jenazah. Alangkah baiknya jika ia berasal dari kalangan keluarga atau kerabat si jenazah. Oleh karena itu, merekalah yang berhak memandikan jenazah.

Sebagaimana disebutkan Imam Ali telah berkata, “Aku pernah memandikan Rasulullah SAW. Aku biasanya melihat apa yang ada pada mayat, tetapi kali ini aku tidak menemukan sesuatu apapun (hal itu pada beliau). Beliau harum semerbak, baik saat hidup maupun ketika sudah wafat.” (HR Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi)

Selain itu, seorang suami istri boleh memandikan (jenazah) satu sama lainnya karena tidak ada dalil yang melarang hal tersebut dan hukum asalnya adalah boleh.

Aisyah RA meriwayatkan ia berkata, “Rasulullah SAW datang menemuiku setelah mengurus jenazah di Baqi. Kala itu kepalaku terasa pusing maka aku berkata: ‘Aduh kepalaku!” Nabi Muhammad SAW lalu bersabda: ‘Bahkan, kepalaku ini lebih sakit sementara sakitmu itu tidak membahayakanmu. Seandainya engkau meninggal sebelumku, aku akan memandikanmu, mengkafani, kemudian menyalatkanmu, lalu memakamkanmu.” (HR Ahmad, Darimi, Ibnu Majah, Abu Ya’la, Ibnu Hisyam, Daruquthni, dan Baihaqi)

Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah Jilid 2, menjelaskan mengenai hukum memandikan jenazah, yakni

إِذَا مَاتَتِ الْمَرْأَةُ مَعَ الرِّجَالِ لَيْسَ مَعَهُمْ امْرَأَةٌ غَيْرُهَا وَالرَّجُلُ مَعَ النِّسَاءِ لَيْسَ مَعَهُنَّ رَجُلٌ غَيْرُهُ فَإِنَّهُمَا يُيَمَّمَانِ وَيُدْفَنَانِ وَهُما بمنزلة مَنْ لَمْ يَجدِ الْمَاءَ.

Artinya: “Apabila seorang perempuan meninggal di antara kaum laki-laki, sedangkan di sana tidak ada perempuan lain selain perempuan ini; atau laki-laki meninggal dunia di antara kaum perempuan, sedangkan di sana tidak ada laki-laki lain selain laki laki ini, maka keduanya ditayamumkan dan dikubur. Keduanya disamakan dengan orang yang tidak mendapatkan air. ”

Orang yang menayamumkan perempuan ini adalah laki-laki mahramnya. Jika tidak ada laki-laki mahramnya maka ia ditayamumkan oleh laki-laki lain.

Namun, laki-laki lain ini tidak boleh menyentuh tubuhnya secara langsung. Ia harus mengenakan kain yang dibalutkan ke tangannya. Hal ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Maliki.

Adapun menurut Imam Syafi’i, apabila di antara mereka ada laki-laki mahramnya, maka ia wajib memandikannya karena perempuan ini bagi laki-laki mahramnya sama dengan laki-laki bagi laki-laki dalam hal aurat dan khalwat.

Masih di dalam buku yang sama dijelaskan mengenai hukum perempuan memandikan mayat anak laki-laki. Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama yang kami ketahui sepakat bahwa perempuan boleh memandikan mayat anak kecil yang berjenis kelamin laki-laki.”

Merangkum berita Hikmah detikcom, khusus bagi jenazah laki-laki, orang yang diperbolehkan untuk memandikan adalah laki-laki yang masih ada hubungan keluarga dengan jenazah maupun tidak, istri, atau muhrimnya.

Meski demikian, istri lebih berhak memandikan jenazah suaminya dibandingkan dengan muhrim lainnya.

Adapun terkait anak memandikan jenazah orang tuanya, menurut Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni, yang boleh memandikan jenazah ayah adalah anak laki-laki atau keluarga yang laki-laki, sedangkan yang boleh memandikan jenazah ibu adalah anak perempuan atau keluarga perempuan.

Ketentuan tersebut juga menjadi pendapat mayoritas ulama.

Sumber : detik.com

Redaksi

http://hababerita.com

Lihat Dunia Lebih Dekat

Related post