Menghadapi Lambatnya Pertumbuhan Ekonomi Pasca Covid-19

 Menghadapi Lambatnya Pertumbuhan Ekonomi Pasca Covid-19

Oleh : Daffa Haikal Umardi

Mahasiswa Ilmu Politik USK

Perekonomian dunia pascapandemi nampaknya masih harus menapaki jalan terjal nan berbatu. Proyeksi dari berbagai lembaga ekonomi dan keuangan dunia, seperti Bank Dunia, Dana Moneter International (IMF), dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sepakat memangkas pertumbuhan ekonomi global 2023. Bahkan, dalam jangka menengah, potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global masih tetap terbuka . Sejumlah faktor yang mempengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi global itu, seperti inflasi inti yang masih relatif tinggi, suku bunga yang tinggi, beban utang yang tinggi, perdagangan dan investasi global yang melambat imbas fragmentasi geopolitik yang meningkat, dan populasi yang cenderung menua.

Tingkat konsumsi dan investasi tetap lemah meskipun aktivitas ekonomi sudah direlaksasi pascapenguncian wilayah (lockdown) pada tahun 2022 lalu. Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan guna mengurangi rantai penyebaran pandemi Covid-19 namun kebijakan ini menyebabkan penurunan jumlah konsumsi Rumah Tangga (RT) dan konsumsi Lembaga Nirlaba yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) padahal kedua konsumsi ini sangat memberi pengaruh atas kontraksi pada Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi di Indonesia tidak terkendali karena situasi yang terjadi dan menyebabkan perekonomian pada konsumsi Rumah Tangga (RT) mengalami penurunan dari 5,04 persen menjadi -2,63 persen dan konsumsi Lembaga Nirlaba yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) mengalami penurunan dari 10,62 persen menjadi -4,29 persen .

Melambatnya kinerja pertumbuhan ekonomi di negara-negara perekonomian besar dan diikuti dengan melambatnya harga komoditas global memberikan dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia, khususnya melalui jalur perdagangan. Sepanjang Januari—Mei 2023, nilai akumulasi surplus neraca perdagangan turun sebesar 15,9% (YoY) dari periode yang sama tahun 2022 menjadi US$16,6 miliar. Dampaknya, beberapa sektor berorientasi ekspor, seperti tekstil harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pendapatan di tengah biaya yang meningkat. Bukan saja, penurunan kinerja perdagangan ini juga berdampak pada penerimaan pajak yang menjadi kontributor terbesar dalam penerimaan APBN.

Sepanjang Januari—Mei 2023, penerimaan pajak tumbuh sebesar 17,7% (YoY) menjadi Rp 830,29 triliun. Hasil ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2022 yang tumbuh sebesar 53,5% (YoY). ***

Redaksi

http://hababerita.com

Lihat Dunia Lebih Dekat

Related post