Ijtima MUI: Presiden Harus 2 Periode, Umat Islam Wajib Ikut Pemilu
Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan masa jabatan presiden harus dibatasi maksimal dua periode. Ini untuk mencegah mafsadah atau kerusakan yang menimpa seseorang (kelompok) karena pelanggaran hukum.
Pernyataan itu merupakan hasil forum Ijtima Ulama yang digelar MUI sejak Selasa (9/11) hingga hari ini, Kamis (11/11) di Hotel Sultan, Jakarta.
“Pembatasan masa kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam konstitusi dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk diikuti guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah,” ujar Ketua MUI Asrorun Niam Soleh membacakan hasil Ijtima Ulama.
Selain itu, dalam Ijtima Ulama, MUI juga yakin bahwa pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
“Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk memastikan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam pemilu hukumnya wajib,” jelas dia.
Namun MUI berpendapat, pemilu harus dilaksanakan dengan berbagai ketentuan. Di antaranya; dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia; didasarkan pada keputusan, ketaqwaan Allah SWT, kejujuran, Amanah, kompetensi, dan integritas.
Kemudian, pemilu juga harus dari suap, politik uang, bebas dari korupsi, oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar’i.
Sementara, untuk pelaksanaan pilkada, MUI berpandangan bahwa pengangkatan kepala daerah seharusnya dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. MUI menilai selama ini pelaksanaan Pilkada lebih besar masfadahnya daripada maslahatnya.
“Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktek politik uang,” tegas Asrorun.
Sumber : cnnindonesia.com