Ekonomi Sederet Negara Ini Tertekan Gegara Perang, Ada RI?
Jakarta – Ekonomi dunia kini terdampak perang Rusia dan Ukraina. Bahkan ada beberapa negara di Asia Tenggara yang dimungkinkan terdampak cukup berat.
Hal ini terlihat riset Morgan Stanley yang ditulis Deyi Tan, Louise Loo dan Jin Choi yang bertajuk When Geopolitics and Inflation Mix – a 1970s Throwback?, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (4/3/2022)
Perang yang sudah berlangsung sepekan terakhir membuat lonjakan pada harga minyak dunia, kini menembus US$ 110 per barel. Tidak hanya itu, harga gas Eropa acuan Belanda tercatat Euro 148,5/megawatt hour di mana sepanjang tahun 2022 telah meroket 114,49%. Lonjakan lain juga terjadi pada harga batu bara di mana kenaikannya mencapai US$ 446/ton.
Perang juga menyebabkan terhambatnya pasokan barang, khususnya pangan kepada banyak negara. Maklum saja Rusia dan Ukraina merupakan pemasok bahan baku gandum sebanyak 28,9% dari total global. Apalagi ada sanksi yang diberikan banyak negara terhadap Rusia dan menghambat jalur pasokan untuk berbagai komoditas.
Morgan Stanley melihat ada risiko inflasi yang besar. Apalagi bagi negara yang belum pulih atau kembali ke level ekonomi saat sebelum pandemi covid-19 namun sudah alami lonjakan inflasi. Filipina dan Thailand adalah dua di antaranya.
“Ketegangan geopolitik menimbulkan risiko kenaikan lebih lanjut melalui energi yang lebih tinggi, pertanian, dan harga logam karena gangguan pasokan potensial, dengan implikasi limpahan untuk produk manufaktur seperti semi dan mobil. Setiap kenaikan 10% harga makanan dan energi dapat menambah 0,9-4ppt ke CPI dari efek putaran pertama. Filipina dan Thailand lebih rentan terhadap risiko inflasi terbalik tersebut,” tulis riset tersebut.
Dampak berikutnya adalah pada sisi ketahanan fiskal. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara dengan risiko tinggi dikarenakan subsidi pada beberapa komoditas. Apalagi apabila kedua negara berupaya menahan kenaikan harga komoditas yang terdampak dengan menambah anggaran subsidi.
“Morgan Stanley memperkirakan peningkatan beban dari setiap kenaikan 10% harga pangan dan energi sebesar ~2% dari PDB. Situasi ini tidak signifikan – tetapi dengan rasio utang publik terhadap PDB sebagian besar sebesar 33-66%, kebijakan fiskal memiliki ruang untuk mengimbanginya. Yang menjadi kekhawatiran adalah apakah subsidi di Indonesia dan Malaysia dapat menyebabkan tekanan fiskal dan kenaikan harga yang tak terhindarkan.”
Indonesia sedikit diuntungkan sebagai penghasil komoditas yang harganya tengah melambung, khususnya batu bara, minyak kelapa sawit (CPO) dan lainnya. Sehingga beban subsidi bisa dikompensasi.
Hanya saja sampai sekarang belum ada kepastian perang akan berakhir. Kekuatan fiskal masing-masing negara bisa saja terkuras apabila perang terus berlanjut. Instrumen moneter, seperti suku bunga acuan sulit berkontribusi karena saat ini berada pada level yang sudah rendah.
“Ketegangan geopolitik yang berkelanjutan dengan dampak ekonomi global yang lebih luas akan mempersulit kebijakan fiskal untuk memberikan perlindungan makro penuh. Kemudian, normalisasi kebijakan juga perlu mengarah pada penurunan suku bunga untuk mengurangi disinflasi dari perlambatan,” pungkasnya.
Sumber : cnbcindonesia.com