LHR1 Slogan Politik Diaspora Labuhanhaji
Oleh : Mohd Misri, SH
Pemilu serentak masih 2 tahun lagi, pendaftaran calon kepala daerah menurut jadwal KPU dimulai 28 agustus 2024. Namun api politik terlalu cepat di sulut. Gerak cepat H. Edi Saputra dan H. Mirwan kelihatannya mampu membuat aktor-aktor politik Labuhanhaji “terperangkap” dan kalang-kabut. Apakah mereka menggunakan logika berfikir “siapa cepat dia dapat” dengan mengambil start lebih dahulu akan sampai finish lebih dulu juga? Saya pikir keliru. Warming up terlalu lama akan menguras banyak energi dan materi, begitu pertarungan hendak dimulai para fighters sudah loyo-loyo dan sempoyongan dalam menahan berbagai macam serangan, baik manuver politik dan black campaign lawan, begitu juga sodoran operasional dan proposal kawan. syukur-syukur mampu bertahan sampai 2024, bagaimana kalau tidak cukup kuat dalam merawat berbagai tolak-tarik kemauan dan kepentingan yang ada? Bisa berakibat fatal bukan?!. Maka dari itu perlu kepiawaian politik sebagai seni dalam mengelola beragam macam kepentingan, serta ide-ide yang berkelanjutan. Bisa saja politik itu kita analogikan seperti meniup balon, apabila ditiup secara terus menerus konsekwensinya ada dua, kehabisan nafas atau na’as balonnya meledak akibat over loading.
Kedua kelompok ini mulai melakukan kerja-kerja politik, memengaruhi dan mengonsolidasi kekuatan-kekuatan yang ada. Demikian aktor politik disana seakan “dijebak” oleh animo dan keaadan tensi politik yang kian meninggi. Seolah-olah saja pertarungan akan segera dimulai, maka bersegeralah menentukan keberpihakan bakal calon mana yang hendak di dukung dan di menangkan. Tak terkecuali saya “dipksa” oleh keduanya untuk menyuguhkan analisa dan kata-kata.
Tentu bagi pelakon politik ulung dan kader partai politik enggan dalam menentukan pilihan terlalu dini dalam ihwal mendukung bakal calon. Oleh sebab peta politik belum terbuka sempurna, para petarung belum unjuk ke permukaan, koalisi parpol belum tercipta, sel dan organ politik belum hidup dan terbentuk, apabila tergesa-gesa sudah barang pasti berakibat fatal salah menganalisa berhujung kepada salah mengambil kesimpulan. Saat ini kita belum bisa melihat dengan pasti siapa kuda hitam dan siapa kambing hitam.
Elit politik dan kelompok masyarakat yang pikirannya terbuka mereka pasti akan melihat berbagai aspek dari bakal calon tersebut pola politik seperti apa yang dilakoninya apakah politik ide dan gagasan pembaharuan atau politik pepesan kosong, bungkus rapi, tapi isi tidak ada. Penting bagi kita melihat visi, leadership dan networking dari sosok seorang kandidat tersebut, latar belakang dan kompetensinya, konsistensi sikap politiknya, strategi dan gagasan politik visionernya, kecakapan komunikasi politik, serta paralel dengan “amnunisinya”. Era 4.0 sekarang ini degnan perkembangan dunia tekhnologi dan informasi tentu kita membutuhkan sosok yang sepadan dengan zamannya, ia mengetahui how the world works nowdays bahkan untuk mengejar berbagai ketertinggalan yang jauh di segala bidang maka kita membutuhkan sosok pemimpin yang beyond the limits, melampaui batas ruang dan waktu.
Bagi partai politik sudah barang tentu ada mekanisme dan tahapan di internal partai dalam memutuskan bakal calon yang hendak di usung. Apakah melaui mekanisme konvensi atau menggunakan hasil survey dari lembaga survey yang kedribel. Minimal bakal calon tersebut cukup di kenal oleh publik dan pada dirinya terdapat beberapa kriteria seperti di sebutkan di atas sesuai dengan kehendak rakyat, sehingga dapat mencapai tujuan yang di inginkan. Pada prinsipnya politik itu adalah “en dan onia atau the good life” seperti kata Plato dan Aristoteles yang berarti bahwa politik bertujuan untuk melindungi dan mencapai sebuah tujuan masyarakat yang sejahtera.
Selain daripada itu standart public popularation, leadership, and electability memang harus dimiliki oleh calon kandidat sebagai dasar bagi satu atau gabungan partai politik dalam memberikan “tiket” sebagai kandidat yang akan di usung pada pemilu/pilkada. Melihat keadaan sekarang ini perhelatan pilkada serentak yang masih tergolong lama, tentu Partai politik masih wait and see, hampir tidak ada partai politik menentukan pilihan cepat dan terburu-buru. Pengambilan keputusan politik strategis selalu saja last minute. Apalagi pemilu kali ini diadakan serentak tentu partai politik membutuhkan sumberdaya super ekstra dan lebih selektif dalam menentukan calon legislatif dan eksekutifnya. Mengingat perolehan suara partai pada pileg dan kursi kepala daerah pada pemilu serentak yang akan datang dapat langsung terakumulasi secara nasional.
Jadi tugas bagi bakal calon yang sudah nyolong start lebih dulu adalah mampu merebut simpati masyarakat secara meluas terhadap eksistensinya, menyerap berbagai aspirasi dari grass roots yang kemudian ditemukan formulasi serta solusi konkritnya apabila ia terpilih sebagai pemimpin. Bukan sekedar memberikan janji-janji manis atau PHP (Pemberi Harapan Palsu). Akan tetapi semua aspirasi yang diserap tersebut kemudian dirumuskan menjadi visi-misi konkrit serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan politik bagi pasangan calon, tidak sebatas menjadi “bahan jualan” ketika masa kampanye namun lupa apabila sudah terpilih. Tidak hanya itu, pentingnya gerakan politik yang terukur, terstruktur dan sistematis dengan gagasan-gagasan politik besar yang extra ordinary, menjadi wish and hope rakyat hari ini. Rakyat sudah bosan dengan pola politik biasa-biasa saja (ordinary) apalagi cuma mengandalkan politik “Janji Duit” pada hari pencoblosan. Diferensiasi itu penting apalagi dalam ihwal “menjual” kandidat pemimpin, tentu perbedaan menjadi titik fokus masyarakat dalam keberpihakan dan menjatuhkan pilihannya, demikian pula partai politik.
Jangan pernah berfikir hanya dengan mengandalkan “Politik Janji Duit” akan dapat meraih kemenangan. saya mengira keadaan masyarakat kita hari ini sudah cukup cerdas tidak mampu terkecoh dengan sogokan uang menjelang hari pemilihan. Ditambah lagi akses informasi yang begitu cepat dan terbuka luas hari ini tentu akan menarik perhatian publik yang demikian besarnya. Mudahnya mendapatkan dan menyebarluaskan informasi kepada publik hari ini tentu kecurangan-kecurangan dapat dengan mudah pula terekspose. Sekeuat mungkin money politic itu di hindari karena tidak baik bagi perkembangan demokrasi dan moralitas sosial-politik kemasyarakatan kita serta akan terus melanggengkan budaya politik nan korup. Biar lah berlalu yang sudah-sudah, mari menatap masa depan dengan pandangan politik tajam kedepan, persaingan yang sehat, serta program-progam yang bermanfaat bagi rakyat.
Pasca deklarasi H. Edi Saputra tidak lama kemudian di susul oleh H. Mirwan menyatakan diri siap maju sebagai Bakal Calon Bupati Aceh Selatan. Tentu situasi dan kondisi sosial politik khususnya di Labuhanhaji menjadi tidak biasa-biasa saja. Kegiatan politik terus dilakukan oleh masing-masing kelompok dalam mengonsolidasikan kekuatan serta pengaruhnya, minimal silaturahmi politik terus saja dijalin. Demikian juga obrolan politik kadarnya kian meninggi di media sosial dan meja-meja kopi di Labuhanhaji oleh karena kedua deklarator itu berasal dari daerah yang sama. Begitu pula pecatur-pecatur politik yang ada di Aceh selatan, mereka mulai berspekulasi terhadap dua bakal calon bupati Labuhanhaji ini.
Belakangan ini panasnya udara politik di Labuhanhaji, beberapa teman menelpon saya menanyakan kepada siapa pilihan politik kita tujukan? H. Mirwan atau H. Edi? Saya menjawab belum ada calon bupati, yang ada hanya bakal calon. Jika seperti itu dasar menentukan pilihan politik; Saya pun bisa mendeklarasikan diri sebagai bakal calon bupati, apakah kalian mau mendukung saya? Pertanyaannya partai mana yang mau mengusung? Siapa yang akan memilih? Apa yang akan ditawarkan kepada publik? Kemana rakyat hendak dibawa? Seberapa besar peluang untuk menang? Dan, dan, selanjutnya. Jadi gimana juga kita ini, timpalnya? Saya menjawab sabar saja jangan terlalu genit. Semua kemungkinan bisa saja terjadi, bagaimana kalau ente menentukan pilihan sekarang lalu kemudian paslon ente tidak mendapat dukungan dari parpol? Haah mau apa, mau kemana ente? Gertak saya tegas. Tapi H. Edi sudah masuk partai Demokrat, balasnya! Terus mengapa? Tidak cuma H. Edi semua orang Labuhanhaji bisa diboyong masuk partai Demokrat jawab saya. Lantas apakah dengan menjadi newcomer di dalam sebuah partai kemudian langsung mendapatkan usungan dari partai tersebut? Kan tidak semudah yang dibayangkan. Politik itu sangat dinamis dan licin, menjaga dan merawat komunikasi politik berjenjang perlu keahlian dan kesabaran yang tinggi. Malah saya melihat bagi non-politisi seperti H. Edi yang terlalu cepat memakai simbo-simbol partai tertentu akan menyulitkan dirinya sendiri dalam membangun komunikasi antar partai-partai politik yang ada. Apalagi dalam membangun koalisi partai politik dalam pemenangan tentu itu adalah pekerjaan yang sangat rumit dan berbelit-belit, sebab tolak-tarik kepentingan politiknya terlalu kuat. Disamping ia tidak menempati posisi strategis di dalam struktur sebauh partai. Karena komunikasi yang dibangun terhadap partai politik itu tidak cukup sekali butuh tim khusus yang mengawal komitmen-komitmen yang ada dan juga dibutuhkan pentolan-pentolan di internal partai yang mem back-upnya.
Semua kita tahu bahwa Partai Demokrat Aceh selatan tidak terlepas dari eksistensi H. Teuku Sama Indra, SH. Yang sekarang menduduki kursi DPR Aceh pada pileg 2019 lalu, pasca kekalahannya pada pilkada Aceh Selatan 2018. TS adalah kader potensial partai demokrat yang sekarang menduduki posisi wakil ketua di provinsi. Kontribusi TS terhadap partai demokrat begitu besar terhadap kerberlangsungan dan eksistensinya. Perlu di ketahui bahwa besarnya investasi politik TS terhadap partai Demokrat di Aceh Selatan selama ini dan pada pileg 2019 lalu berhasil meraup 22.556 suara itu adalah angka yang sangat fantastis bagi seorang calon legislatif DPRA. Menduduki posisi ke empat suara terbanyak dari total 81 anggota DPR Aceh setelah Ali Basrah (DP8 Golkar), Azhar Abdurrahman (DP10 Partai Aceh), Saifuddin Yahya (DP1 Partai Aceh) dan Teuku Sama Indra (DP9 Partai Demokrat). TS adalah sosok yang di “takuti” oleh semua kandidat bupati di Aceh Selatan, sebab loyalis-loyalisnya masih terawat dan terjaga sampai dengan hari ini. Banyak orang mewanti-wanti dan berharap TS tidak maju pada pilkada mendatang. Oleh sikap dingin TS yang belum melakukan pergerakan politik apapun di Aceh Selatan sampai dengan hari ini menjadi tanda besar bagi semua kalangan, apakah TS benar-benar tidak maju atau saja sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali membangun barisan dan pergerakan politiknya. Belakangan ini di public berkembang isu bahwa TS sedang dalam keadaan kurang sehat, publik kuat menduga bahwa TS tidak akan maju sebagai petarung pada pilkada mendatang. Saya mengira itu cuma praduga saja. Sejak dulu memang TS enggan memberikan jawaban konkrit terhadap sikap politiknya pada pilkada yang akan datang, pada suatu kesempatan tahun lalu kami bertanya kembali mengenai hal itu, ia menjawab begini; kalau Aceh Selatan nanti lebih buruk dari masa pemerintahan Pak Husein dan banyak hutang saya tidak mau lagi naik hanya untuk memperbaiki keaadaan yang seperti itu, capek saya, jawabnya sambil tersenyum kecil.
Pasca Mirwan mendeklarasikan diri sitauasi politik di Labuhanhaji semakin memanas dan tegang. Peta politik sedikit banyak berubah dan bergeser, issue Labuhanhaji Raya Bersatu tergerus dan melemah. Pentolan-pentolan politik di Labuhanhaji pun terus bersitegang antara kubu. Lantas dengan keadaaan seperti sekarang ini apakah masih pantas kita menyebutnya bersatu? Terlihat komunikasi antar ketua-ketua partai politik yang dibangun selama ini menjadi bias mengambang, semua mereka menarik diri. Padahal ada tiga orang Labuhanhaji menduduki posisi sebagai ketua Partai di Aceh Selatan yaitu Nasdem, PKB dan PAN. Apabila komunikasi politik antar partai ini dibangun dan dirawat dengan baik sudah barang tentu tiket calon bupati akan sangat mudah didapat. Saya melihat pergerakan LHR1 kurang intensif membangun komunikasi politik tingkat elit-elit partai politik yang ada, terlalu banyak ke grass roots dan kelompok kepentingan padahal komunikasi ke atas itu sangat perlu di perkencang sebab itu adalah penentu. Bangaimana semboyan bersatu akan berhasil di garap apabila merajut kepentingan-kepentingan politik yang ada sekarng saja tidak mampu di pertemukan.
Dalam politik pragmatis ada banyak pertanyaan yang harus dijawab secara logis dan konkrit, sebab politik adalah imajinasi logic dan kalkulasi konkrit bukan sekedar menghayal-hayal tanpa ada dasar yang fundamental. Apalagi hanya sekedar hayalan-hayalan Labuhanhaji Raya Bersatu yang begitu utopis dan terjengkali, inilah yang saya sebut sebagai slogan politik Diaspora Labuhanhaji, Politik Perantauan. Terlihat semakin kesini ketergantungan Labuhanhaji-Jakarta semakin menguat, seolah-olah Labuhanhaji cuma dapat di atur oleh Jakarta saja, dan cuma mereka yang memiliki kekuatan dan kecakapan, pada dasarnya tidak seperti yang nampak terlihat juga. Ada saat idealnya Labuhanhaji-Jakarta itu cukup menjadi investor politik di Labuhanhaji dengan memberikan kesempatan kepada mereka-mereka selama ini berbuat dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Tidak terlalu menyentuh hal-hal yang sensitif tetapi masuk kedalam persoalan yang produktif, sehingga tujuan akhir dari pengabdian berbuat untuk daerah demi kesejahteraan masyarakat itu lebih jelas dampaknya. Labuhanhaji-Jakarta kemudian hari harus mampu menjadi penengah, bukan malah pemecah belah disebabkan oleh kepentingan politik pilkada yang menimbulkan sekte-sekte baru di Labuhanhaji.
Bagaimana bisa mencapai persatuan sedangkan ide-ide persatuan itu tidak pernah kita rembuk bersama, digali secara mendalam lalu di uji dan diperdebatkan. Ide Labuhanhaji Raya Bersatu selama ini tidak mampu diterjemahkan dan disosialisasikan secara baik agar semua kalangan dapat menerimanya sebagai sebuah ide bersama atau common issue. Bagaimna kita bisa ikut terpengaruh apabila sosok pemersatu yang digadang-gadangkan itu tidaklah representatif mengeban semboyan persatuan tersebut.
Semestinya kita renungi secara mendalam hakikat dan nilai-nilai pemersatu sebagai ikatan yang universal. Lihatlah bagaimana Soekarno menerung lama dibawah pohon sukun selama masa pengasingannya di Ende dalam menemukan buah pikir Philosofische Grounslag yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indoensia yang dinamainya Pancasila sehingga dapat menjadi falsafah yang sangat kuat dari sabang sampai merauke terjaga sampai dengan hari ini. Begitu juga kita, terlalu Kecil Aceh Selatan apabila dibandingkan dengan Indonesia dan Soekarno cukup dengan seorang Sukadi saja barangkali benang merah dapat ditemukan dan dirajut. Sebagai suatu jawaban konkrit, cerdas, dan ilmiah yang dapat menyatukan sebagian besar dari kelompok ada. Sehingga bicara Aceh selatan tidak lagi Labuhanhaji, Meukek, Sawang, Sama Dua, kluet, Bakongan, dan seterusnya. Tetapi Aceh Selatan adalah kita! Sama-Rata Sama-Semuanya. Mungkin sedikit romantik dan idealistik, tetapi begitulah persatuan akan dapat tercapai apabila kita berhasil menanggalkan ego-ego yang ada dan kepentingan-kepentingan kelompok yang sempit.
Tidak mungkin kemenangan dapat dicapai tanpa perhitungan dan strategi yang matang, apalagi hanya mengandalkan sumberdaya financial semata. Apabila salah dalam penggunaan dan pemanfaatannya pasti akan sia-sia belaka tidak lebih cuma akan melahirkan tim yang sukses-sukses.
Memang kekuatan finansial mampu mendongkrak popularitas dan mempengaruhi tindak-tanduk masyarakat dalam menentukan pilihan. Akan tetapi sangatlah sempit perspektif politiknya apabila seperti itu, tidak cukup dipandang hanya sebatas kekuatan finansial seperti pada pilkada periode lalu. Sebagian orang Labuhanhaji sering mengatakan bahwa orang Labuhanhaji-Jakarta memiliki cukup banyak uang dan dengan begitu cukup optimis dapat memenangkan pilkada. Engaak seperti itu lah Maimuuun.. gumam saya.
In my opinion terlalu menghambur-hamburkan uang dalam pemilu akan berdampak negatif pada pasangan calon dan sarat melahirkan pemerintahan yang buruk dan cenderung korup. Memang money politic kadang dapat menghantarkan seseorang pada puncak kekuasaan, seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi jangan lupa bahwa cost politik yang besar akan membebani seseorang terpilih kemudian berpikir bagaimana caranya untuk membayar hutang dan mengembalikan besaran modal yang telah ia keluarkan. Jadi berhati-hatilah melakoni pola politik semacam itu, sebab akan menjadi “mangsa” empuk di kemudian hari.
Mari kampanyekan politik cerdas demi meningkatkan kualitas dan perilaku politik kita agar dapat mengejar berbagai ketertinggalan sehingga mencapai perubahan disegala bidang, serta mampu menghantarkan kita pada suatu masyarakat yang maju, baik, adil, dan sejahtera. ***